Aku merasa semuanya berjalan tanpa nyawa. Ibarat seorang
narapidana yang menolak menjalani sisa hidupnya di penjara. Terpuruk oleh
ikatan janji yang tak pernah ditetapi. pesan yang tak pernah disampaikan. Impian yang tertunda menjadi nyata. Langitku gelap.
Hitam kah semua ini? Bukankah ini menjadi hukuman bagiku yang terlalu egois
mengaharapkan sesuatu yang lebih indah dari kadarku. Medungku di langit kelabu
berubah menjadi badai yang mengerikan. Menghancurkan semua pilar-pilar megah di
istanaku. Jalan hidup macam apa yang sedang ku tangisi saat ini. Kulitku serasa
dikuliti hidup-hidup. Disayat-sayat oleh bilah bambu di rimba gelap. Menyedihkan!
Namaku Yesi Aprilia. Aku anak yang ceria dan mudah bergaul. Hampir semua
anak sekampungku tau siapa aku. Lia si bocah periang. Akan ku awali kisahku
dari sini. Saat ini usiaku 18 tahun. Aku memiliki seorang kakak dan satu orang
tua,yakni Ibuku yang paling cantik. Ayahku sudah meninggal sejak 5 tahun yang
lalu karena sakit paru-paru basah, pembengkakan jantung, asma, dan gagal
ginjal. Itulah pertamakalinya Istanaku di terjang badai. Aku masih 13 tahun,
tepat disaat pembagian raport kenaikan
kelas. Dan aku mempersembahkan hadiah yang buruk sebelum kepergiannya. Aku hanya
mendapatkan posisi kedua di kelas. Aku tau ayah ibuku tak pernah menuntutku
untuk selalu di posisi pertama. Tapi bagiku, posisi pertama adalah tempat
paling terhormat untuk orangtuaku sejak aku di sekolah dasar. Ayah pergi
menghadap Yang Kuasa, kakakku kembali belajar di kota dan aku juga harus kembali belajar di
pesantren meninggalkan ibuku sendiri. Kurasakan sekali beratnya beban hidup
yang ditanggung ibu. Hingga di tahun kedua setelah kepergian ayah, kakakku
mengajak ibu tinggal bersama di rumah kontrakan. Setelah lulus di Madrasah
Tsanawiyah, aku juga ikut kakak sekolah dikota. Di sekolah yang pernah ia
miliki dulu. Juga sekolah yang sama denganmu. Aku menjalani hari-hari yang
sulit. Di kontrakan, kami hanya punya satu kamar, dua tikar, beberapa bantal
dan alat rumah tangga lainnya. Rumah kontrakan yang kami tinggali sangat
berbeda dengan rumah di kampung. Setiap malam, aku harus rela tidur di lantai
dengan beralas tikar. Kadang aku menggelar beberapa kain agar terasa empuk.
Sedang kakakku tidur di ruang tamu. Inilah kedua kalinya istanaku di terjang
badai. Kondisi ekonomi kami merosot sejak kepergian ayah. Ibuku bekerja mencuci
piring di kantin, kakakku kuliah sambil mengajar privat. Dan aku sekolah dengan
mengendarai sepeda pink kesayanganku. Kamu tau berapa harga rasa malu yang
harus ku jual? Semua jawaban ada di sepeda itu. Tiap pagi aku harus mengayuhnya
sejauh 2 kilo untuk sampai kesekolah. Di jalan, aku harus sangat berhati-hati
menyebrang. Terkadang, aku juga harus menepi sampai ketanah agar kendaran
bermesin yang gaduh itu tidak menyerempetku. Dan tiba disekolah, aku disambut
dengan ratusan motor-motor bermerk. Jarang sekali ada sepeda yang setia
bertengger ditempat parkir kecuali sepeda pinkku. Setiap hari, harus kubuang
rasa iriku dengan motor-motor mewah milik teman-temanku. Suatu saat aku
pasti bisa seperti kalian, pikirku saat
itu. Aku ikuti pelajaran disekolah dengan baik. Meski tanpa uang saku, aku
masih bisa berkomunikasi dengan baik dengan teman-temanku. Meskipun saat mereka
mengajakku kekantin, aku akan menarik diriku sangat jauh dari mereka. “aku
tidak lapar”. Padahal tidak ada uang saku dan bekal makan siang waktu itu. Aku
akan tetap menahannya hingga jam 3 sore bahkan jam 5 sore sekalipun.
Menyedihkan!. Ditahun pertamaku, aku mencoba mencari peruntungan menjual kue
piscok di kelas. Itu berjalan selama beberapa bulan hingga kenaikan kelas.
Ditahun kedua, aku menggantinya dengan berjualan kue martabak unyil yang
hasilnya sangat lumayan. Dua bulan berjualan aku bisa mendapatkan keuntungan
400 ribu rupiah. Sejak saat itu, kodisi uang sakuku mulai membaik. Aku mulai
berani mengunjungi tempat yang menjadi musuhku sesekali waktu. Tempat itu
bernama “Kantin”. Namun, bisnis itu harus berhenti saat ada larangan dari
sekolah. Disisi lain, aku juga ingin fokus di pelajaranku. Aku sangat mengagumi
keajaiban tuhan. Sebab karena dialah saat itu aku bisa merasakan indahnya
berada di sekolah. Tidak ada waktu yang membosankan. Semuanya ku warnai dengan
kuas keceriaanku. Aku selalu tersenyum kepada semua orang. Dan menjalin
persahabatan dengan dua gadis yang sangat
aku sayangi. Riska dan Oka. Inilah untuk
pertamakalinya aku menemukan dunia baruku yang benar-benar hidup. Di tahun itu
juga aku kenal denganmu yang sebelumnya hanya orang asing bagiku. Kamu datang,
tanpa pertanda. Sekali waktu aku menyesali perkenalan itu. Tapi di lain waktu
aku hanya akan tersenyum kecil untu mengingatnya dengan baik di memoriku.
Namamu Muhammad Ihsan Al Hafiz, aku telah mengetahuinya sejak pertama kali kamu
masuk kekelasku di tahun pertama untuk meminta sumbangan. Teman disamping dan
belakangku sangat menyukaimu saat itu. Bahkan mereka hampir histeris saat
kamu berbicara di depan kelasku. Tapi
aku rasa tak ada yang istimewa sama sekali. Kamu tetap laki-laki biasa yang
tidak perlu kukenal. Maafkan aku, Jangan marah padaku karena berbicara seperti
ini. Aku tidak mudah menyukai yang tidak sependapat dengan akalku. Saat itu,
aku hanya ingin dihargai, meski aku putri dari seorang pencuci piring. Aku
berusaha keras untuk memberi harga tinggi pada diriku dengan caraku, hingga
akhirnya aku mendapat posisi ke empat di ujian kenaikan kelas. Sejak saat itu,
teman sekelasku menyadari keberadaanku. Dan aku tidak perlu menghindar seribu
mil lagi dari mereka. Itulah caraku menghargai perjuangan ibu. Meski tidak
seperti di sekolah dasar dan menengah pertama. Tapi aku berharap ayahku bisa
tersenyum melihatku.
Masih sangat jelas saat pertamakali kamu mengirim pesan
untukku. Sekali lagi, tak ada yang istimewa buatku. Tapi semakin lama, aku
merasa kita semakin akrab. Banyak hal yang ku suka juga kau sukai. Aku merasa
beberapa bagian istanaku telah di renovasi lagi. Dan lagi, Masih ku ingat
panggilan Mr. Fisika dan Putri Ilalang itu. Kau tau, baru pertama kalinya aku
memberi gelar pada seseorang. Dan kamulah orang pertama itu. Buatku saat itu,
kamu adalah orang terbaik yang pernah ku kenal. Kamu berbeda dari yang lain.
Kamu pandai memahamiku, kamu seperti keluargaku. Namun badai itu kembali
menerjang istanaku yang telah direnovasi sebagian. Kamu menghilang sejak masuk
universitas. Aku tidak menemukanmu di segala waktu. Ada beton-beton tinggi
menghalangi kamu dan aku. Bahkan kamu semakin menjauh. Merangkak, berjalan,
berlari, dan melesat hilang dan tak pernah kembali. Kamu kirimkan pesan
perpisahan sesukamu. Sejak itu baru ku tau kamu adalah seorang pengecut. Kamu
datang tanpa pernah di undang, dan pergi tanpa ada alasan. Kamu meninggalkan
ketidakjelasan. Kamu benar-benar pergi.