Idis
Begitu senja. Jalan setapak di batas Batu Licin yang
sejak tadi kususuri semakin gelap. Pepohonan dan daun-daun melambai berharap
mentari sudi mengintip sebentar saja lagi, mengiringi langkahku yang entah ke
mana ini.
Kupercepat langkah. Setengah berlari kubawa gejolak
tak menentu, buncahan duka, airmata yang membuat sungai kepedihan semakin
panjang dalam diri. Perang! Perang! Perang yang membara sejak aku belum
dilahirkan, hingga kematian kedua orangtua dan sanak saudaraku. Perang yang
tiada berujung!
Ya, Belanda memporak-porandakan semua. Abak-ku
hanya tukang perahu yang tewas kehabisan darah, saat Van Hengst dengan penuh
dendam memotong-motong lalu mengirimkan kaki, tangan dan kedua mata Abak yang
dicungkilnya keji kepada Pangeran Hidayat untuk menakut-nakuti pemimpin teguh
itu agar tak lagi mengajak rakyat Banjar berjuang.
Umak, wanita yang melahirkanku pun cuma wanita biasa yang
kutemukan tewas setelah dianiaya dan diperkosa belasan penjajah Belanda di
beranda rumah kami bertahun lalu. Sementara abangku Kusin dan Ali tewas saat
bersama Kyai Langlang menyerbu benteng Belanda di Tabanio.
Dan dalam usia tujuh belas tahun ini aku sendiri.
Berjuang untuk tetap hidup dalam atmosfir nestapa kebiadaban penjajah Belanda.
“He…he…he…he….”
Gema tawa liar yang tiba-tiba terdengar sungguh
menyentakkan lamunan dan mengejutkanku! Lalu entah darimana datangnya, kini
tiga sosok lelaki menghadang jalan. Dua di antara mereka menyandang tombak!
“Gadis muda…, he…he…he…, mau kemana?” tanya mereka
hampir serentak. Lantas dengan begitu saja yang berkumis tebal menjawil pipiku.
Aku menunduk gemetar. Ya Allah, tolong aku. Tiga orang
ini sangat menakutkan. Yang seorang gondrong, seorang kumisan, sedang yang lain
bercodet di wajahnya. Meski bukan Belanda…,tapi perasaanku mengatakan mereka
jahat. Bukan orang baik-baik apalagi pejuang!
“Kami anak buah Wan Syarif Hamid. Mari ikut kami. Kumpini
takkan mengganggumu…he…he….”
Aku mencibir. “Syarif Hamid… si tolol. Dan kalian anak
buahnya yang… dungu. Kalian muslim… atau Belanda?” gumamku pelan.
“Diam ikam !” teriak yang berkumis tebal. “Ayo
kita bopong dia!!”
Aku meronta-ronta. Selendang penutup rambutku jatuh ke
tanah! Sambil terkekeh-kekeh mereka berusaha membawaku secara paksa!
Aku menjerit-jerit. Mencoba mencakar, menjambak,
meludahi mereka! Ya Allah…, aku bingung dan begitu lemah. Tak mampu mematahkan
mereka. Andai aku bisa bela diri…, wah, mana mungkin?
“Turunkan dia!”
Sebuah suara berat menghentikan aktivitas para jahanam
itu. Aku terpana. Seorang lelaki kurus tinggi yang sangat bernyali mencoba
merintangi! Sungguh berani. Kutahan napasku. Mungkinkah dia bisa melawan para
biadab ini?
“Siapa, Kau?” gusar Si Gondrong yang membopongku.
Seketika dibuangnya aku ke tanah. Duh, serasa tulang-tulangku mau patah. Sakit
sekali.
“Saudaraku, lepaskan perempuan yang tak berdaya itu.
Biarkan dia pergi.”
“Tak ada urusan. Menyingkir atau kutusuk ikam
dengan tombak ini!” seru yang berkumis tebal.
Aku memandang ngeri sambil perlahan memungut
selendangku. Pemuda kurus tinggi itu sendirian dan bergeming di tempatnya.
Sambil membetulkan ikat kepalanya dia melambaikan tangannya padaku.
“Sini, Ai!”
Aku baru saja akan berlari, saat dua di antara anak
buah Syarif Hamid mencengkeram tanganku kuat.
Aku meronta-ronta. Kuberanikan diri menggigit tangan
mereka sampai berdarah. Mereka melolong kesakitan! Hup, Aku bebas! Dengan lutut
yang masih agak gemetar aku berlari ke arah pemuda tersebut.
“Serbuuuuuuuu!” teriak si Kumis. Serempak mereka
menyerang pemuda yang bermaksud menolongku itu.
Pemuda kurus tinggi tersebut gigih melawan. Ia pintar
beladiri! Kulihat gerakannya sangat lincah. Bahkan ia belum juga mengeluarkan
keris di pinggangnya menghadapi orang-orang jahat bertombak itu!
Apa yang harus kulakukan sekarang? Menunggunya? Kalau
dia kalah dan mati? Hiiiiiii….
“Semoga Kakak menaaaaang!” teriakku pada pemuda yang
berani itu. Dan…wussssssss, aku berlari secepatnya meninggalkan tempat
tersebut.
***
Pindah dari satu daerah ke daerah lain, mengembara tak
tentu arah, sebenarnya bukan hal yang biasa dilakukan oleh gadis bingung dan
penakut seperti aku ini. Tapi kupikir, harus bagaimana lagi? Aku bisa mendelik
atau pingsan ketakutan bila berada di daerah yang ditimpa kerusuhan dan
peperangan. Ya, karena aku penakut. Karena tak berani menghadapi kenyataan
peperangan inilah maka aku selalu berlari.
Aku ingin dapat istirah sesaat dengan tenang walau
harus tidur di tanah, emper rumah orang, dalam bilik pengap, di mana saja.
Tidur nyenyak di waktu malam berteman suara jangkrik. Bukan suara bedil, mesiu,
atau jerit pilu yang berkepanjangan. Bukan ditemani mimpi-mimpi meresahkan…
Bayangan wajah Abak, Umak, kumpini dan simbahan darah…. Sungguh, itu
sangat mengerikan.
Seperti kini, 27 September 1859, aku tiba di kaki
Gunung Lawak. Menurut kabar daerah ini sudah dikuasai oleh para pejuang
kemerdekaan.
“Pangeran Amirullah, Demang Lehman, Antaludin dan Haji
Buyasin ada di sini. Rakyat merasa lebih tenang. Wilayah juga lebih aman…,”
ujar seorang bapak tua penjual sayur yang kutemui di jalan.
Kutarik napas panjang. Aku salut atas keberanian para
pejuang itu. Apalagi pada Pangeran Hidayat, Haji Buyasin dan…Demang Lehman!
Tapi…terus terang, aku lebih suka jadi pelarian daripada ikut membantu
perjuangan.
“Bergabung saja dengan laskar wanita pimpinan istri
Haji Buyasin. Nanti kau diajar mengobati orang luka, memasak, juga bersilat, Ading
Gahara…,” kata Kak Kusin suatu ketika.
“Kenapa sih Ading penakut sekali…!” bentak Kak
Ali.
“Ading kada‘ mau mati muda….” jawabku pelan.
“Huuuuuuuuuu! Mati bisa di mana saja, Ading. Di
tempat tidur pun bisa!” ledek Kak Ali sambil mengusap kepalaku.
Kutahan titik-titik air mata. Aku rindu mereka…,
sungguh rindu!
“Kita harus melawan penjajah, ini tanah hak kita! Kita
harus merdeka! Jihad fisabilillah terhadap Belanda…kaum kuffar
itu!” suara Kak Kusin lagi.
Aku menghapus airmata dan membetulkan letak
selendangku. Sebelum hari beranjak siang, aku harus mendapat pekerjaan. Mencuci
baju, piring, membantu di warung…, apa saja…, agar aku mendapat uang dan bisa
numpang bermalam.
Belum jauh berjalan, di sekitar kaki Gunung Lawak,
kutemukan sebuah warung kecil yang sepi tanpa pengunjung.
“Aku tak memerlukan pembantu, tapi kau boleh tinggal
di sini,” ujar seorang janda tua pemilik warung tersebut prihatin. “Lagi pula
kita senasib. Aku pun sebatangkara. Panggil saja aku Acil Dem…,”
sambungnya lagi.
Alhamdulillah, aku
sangat bersyukur!
***
Beberapa hari kemudian, suara mortir dan senapan
tak berhenti menyalak di sekitar kami….
“Perang! Belanda sampai…, ayo ngungsi!”
“Van De Koch… dan anak buahnya… menyerbu benteng
Gunung Lawak…!”
“Demang Lehman terdesak!”
Itulah seruan-seruan beberapa orang di jalanan dengan
wajah penuh kecemasan.
Kaum wanita dan anak-anak pun panik! Para lelaki
mengangkat tombak, keris serta bedil.
“Mari bantu pasukan Demang Lehman!”
Aku dan Acil pias!
“Acil, ayo kita lari!”
“Kau saja yang pergi, Gahara. Biar Acil mati di
tanah sendiri!”
“Jangan, Acil!” aku kebingungan. Suara bedil,
mesiu dan kendaraan perang yang terasa menderu-deru di telingaku semakin dekat
saja! Semakin membuatku gugup. Kutarik paksa Acil Dem meninggalkan
rumah. Aku takut sekali dan ingin lari selekas mungkin. Tapi…, nuraniku berkata
untuk melindungi Acil Dem! Acil malah meronta-ronta….
Tiba-tiba kulihat darah muncrat dari punggung
perempuan tua itu. Mataku terbelalak. Kepalaku berkunang-kunang. Aku lemas
seketika! Belanda-belanda itu telah menguasai daerah dan berada tak jauh di
belakang kami!
“Lari…, Ga…ha…ra…,” suara Acil satu-satu.
Sosok Umak yang bersimbah darah tiba-tiba
muncul di hadapanku. Matilah aku kini! Wahai…, gadis muda mati di bantai kumpini!
***
Cahaya menyilaukan membuat kedua mataku mengerjap
picing. Di manakah aku kini? Surga? Tapi…apakah seorang penakut dapat begitu
mudah masuk surga?
“Kau sudah sadar….”
Kukerjapkan lagi mata ini. Pandanganku masih terasa
kabur. Allah, aku masih hidup! tapi…,bagaimana mungkin? Dan…Acil Dem?
Seorang lelaki gemuk berdiri tak jauh di hadapanku. Di
dekatnya seorang lelaki kurus tinggi berpakaian lusuh, lengkap dengan ikat
kepala membelakangiku. Sekitarku penuh pepohonan…, daun-daun kering berserakan,
suara-suara binatang di kejauhan…. Hutan! aku ada di hutan!
“Kau tak luka, hanya pingsan. Bergegaslah! Kita akan
berjalan ke pemukiman penduduk beberapa kilometer dari sini.”
Aku tertegun saat sekilas menatap pemuda itu. Aku
pernah bertemu dengannya tapi…tapi di mana? Oh tentu saja, pemuda kurus dengan
ikat kepala itu yang menolongku saat di Batu Licin dulu! Hebat, dia selamat!
Dan…kini dia pula yang menolongku.
Tak lama kami telah berjalan menyusuri hutan. Sesekali
kutangkap pembicaraan dua pemuda sederhana ini. Tampaknya mereka sisa-sisa
pejuang dari benteng pertahanan Gunung Lawak. Entahlah, mungkin anak buah
Demang Lehman?
Mereka tak lagi mengajakku bercakap-cakap. Hingga di
ujung hutan, tak jauh dari pemukiman penduduk, lelaki dengan ikat kepala itu
berkata, “Kita berpisah di sini. Kau hanya harus lurus berjalan. Ceritakan
tentang pertempuran di Gunung Lawak. Penduduk akan simpati dan menolongmu.”
“Apa? Begitu saja, Ai?” tanyaku heran sambil
membetulkan selendang lusuhku yang compang-camping. “Bagaimana kalau ada
Belanda yang menghadang tiba-tiba?”
“Insyaallah aman. Dan bila orang-orang kafir
itu datang berjihadlah. Tuangkan darahmu untuk menegakkan agama Allah….”
Aku bergidik. “Aku ikut saja.”
“Tidak bisa! Kami akan bergerilya dan mengatur siasat
baru,” ujar pemuda itu lugas.
“Tega!” rutukku. “Baik. Terimakasih sudah menolong,”
kataku pada akhirnya. “Sebelum berpisah, siapakah Kakak berdua ini kiranya?”
“Aku Idis. Dan ini temanku Abdullah,” ujar si ikat
kepala lagi.
“Assalaamualaikuum!”
Lalu tanpa bisa kucegah, mereka berlari dan menghilang
ke dalam hutan!
***
Beberapa waktu kemudian, di tengah pengembaraanku,
kudengar Demang Lehman dan pasukannya berhasil mengusir Belanda dari Gunung
Lawak. Kata beberapa orang, Belanda tak tahan digerogoti dan diteror terus
secara gerilya oleh para pejuang tersebut.
Menurut banyak orang lagi, Di Munggu Tajur, Demang
Lehman berhasil merampas senjata, berpuluh pucuk bedil serta mesiu Belanda. Kemudian
orang gagah itu meneruskan pertempuran ke Taal dan membuat Belanda kocar-kacir.
Ke Amawang, Alai, Kusan, Amandit, Banua Lima-Tabalong….
“Dia orang hebat, Gahara. Aku pernah bertemu sekali
dengannya. Dia sangat pemberani!” seruan Kak Kusin terngiang kembali di
telingaku.
“Dia juga sangat rendah hati!” sambung Kak Ali.
“Pangeran Hidayat percaya pada beliau makanya Demang Lehman diangkat menjadi
Lalawangan di Riam Kanan walau Sultan Tamjidullah yang berpihak pada kumpini
itu benci! Pangeran Hidayat memberinya tombak Kalibelah dan keris Singkir.”
Demang Lehman, aku menggumam. Pembicaraan yang tiada
putus-putusnya. Dan saat aku sampai di Barabai, orang-orang masih juga menyebut
namanya!
“Kebakaran! Kebakaraaaaan!”
“Allah, ada apa?”
“Kebakaran! Barabai hangus! Api dari rumah Demang
Lehman! De Koch membakarnya!” seru seseorang.
Aku terhenyak. Tapi…tidak, tak ada Belanda. Yang ada
hanya api…,api yang menjalar kemana-mana…terus menjalar!
Para wanita dan anak-anak menjerit dan menangis keras,
riuh rendah! Hiruk-pikuk! Mereka jatuh, berlari, bergulingan, berusaha
menyelamatkan harta dan keluarganya! Dan saling kehilangan! Para lelaki mencoba
menyiram rumah-rumah dengan air. Sia-sia!
Sesaat aku terpana. Ternganga. Naluri kemanusiaanku
menuntunku untuk membantu menyelamatkan kaum wanita, para bocah dan orang tua.
Tubuhku bergetar. Peluh membasahi kulit ini. Aku berlari-larian mencoba
menyelamatkan yang bisa kuselamatkan. Anak-anak kecil itu…, Allah…aku
sempoyongan! Kasihan mereka!
“Toloooong, bayikuuu! Bayiikuu! Dia terbakar!” seorang
umak muda berteriak-teriak di depan rumahnya yang penuh kobaran api.
Entah kekuatan dari mana, aku menyeruak masuk. Bocah
baru berusia beberapa bulan itu menangis keras kepanasan! Selimutnya telah
terbakar. Kuraih…, hup! Tangis anak itu makin keras. Tapi…ya Allah…,aku
terkurung apii!!
“Toloong! Tolong anak iniii!” teriakku.
Dalam nanar kulihat orang-orang masih berlarian tak
peduli. Umak anak itu meraung-raung sambil menunjuk-nunjuk kami….
Aku sudah pasrah…, saat samar-samar kulihat sosok
kurus tinggi menyeruak api! Tangan kanannya menarikku. Tangan kirinya
menyelamatkan bayi tersebut!
Alhamdulillah Allah melindungi kami. Hanya kaki dan
tanganku melepuh sedikit.
Dan lelaki itu…, hah? Kak Idis?
“Kau sudah lebih berani, Ading! Berjuanglah bersama
Allah…,” katanya datar sebelum berlalu.
Aku tercenung. Berani? Ya, pada api aku memang agak
berani. Tapi…pada Belanda yang memperkosa dan membunuh Umak, yang
mencungkil mata Abak?
Orang-orang di sekitarku masih hiruk-pikuk.
Bertangis-tangisan. Kutatap sosok kurus yang kian jauh itu. Entah siapa dia…,
dan Ya Allah, mana bungkusanku? Heran. Dalam keadaan seperti ini ada saja orang
yang mencari kesempatan!
Aku sudah tak memikirkan sosok kurus itu lagi. Hanya
mencari bungkusanku yang hilang ke sana kemari.
***
Martapura, 26 Februari 1864.
Kesunyian kota berubah ramai saat para utusan De Koch
tiba.
“Rakyat semua, dengarlah! Besok kamu semua datang
beramai-ramai. Setelah Pangeran Hidayat ditangkap untuk dibuang ke Cianjur, Gubernemen
kini telah menangkap ekstrimis Demang Lehman. Eksekusi gantung sampai mati esok
pagi!”
Aku baru saja tiba di kota ini. Orang-orang sibuk
membicarakan tertangkapnya Demang Lehman. Kasihan, kasihan pejuang itu. Dan
bagaimana nasib rakyat kalau ia betul tertangkap? Bukankah ia pengobar semangat
rakyat?
“Ya, Demang Lehman dan Tumenggung Aria Pati
bersembunyi di dalam Gua Gunung Pangkal. Mereka cuma makan daun-daunan. Lalu
oleh orang bernama Pemberani diajak menginap di rumahnya.”
“Karena tergiur imbalan golden, Pemberani bekerja sama
dengan Syarif Hamid dan anak buahnya yang sudah menyusuri Gunung Lintang dan
Gunung Panjang untuk mencari Demang Lehman.”
“Demang Lehman ditangkap waktu salat subuh. Ia sempat
sendirian melawan puluhan orang yang mengepungnya. Atas keberhasilan ini Syarif
Hamid akan diangkat jadi raja di Batu Licin….”
Cerita-cerita terus beredar. Dan entah mengapa aku
tergugah. Seperti apakah Demang Lehman itu? Lelaki pemberani yang dikagumi
rakyat Banjar? Setua apa dia? Rasa ingin tahu bermain terus di hatiku.
27 Februari 1864. Kulihat wajah-wajah duka di
Martapura. Dan saat iring-iringan Belanda tiba, entah mengapa kakiku tetap
kukuh menginjak bumi. Tak lari seperti biasa. Serasa magnet yang kuat menahanku
untuk tetap di Martapura. Tiba-tiba kebencianku bergumpal-gumpal pada Belanda
kafir dan para pengkhianat tolol itu! Tiba-tiba sesuatu yang lain menjalar di
hatiku. Aku merasa begitu dekat dengan Demang Lehman…,orang yang akan digantung
Belanda di hadapan orang banyak saat ini….
“Bawa dia naik!” teriak beberapa Belanda.
Rakyat berguman-guman tak jelas. Wajah-wajah di
sampingku keruh menahan air mata.
Seorang lelaki kurus tinggi dengan ikat kepala naik ke
atas panggung hukuman. Ya Tuhan! Aku menahan napas! Nyaris tak percaya…, Kak
Idis!? Benarkah itu Kak Idis?
Lelaki muda itu tampak tenang menghadapi tali yang
menjulur. Wajahnya kokoh ke depan. Seolah ingin berkata bahwa kematiannya
adalah awal, bukan akhir perjuangan.
“Kak Idis…,” lirihku. Dan tanpa dapat kutahan
airmataku mengucur begitu saja. Makin lama semakin deras.
Seorang Kompeni maju. “Nama Demang Lehman. Nama kecil
Idis. Lahir tahun 1832 di Barabai. Bersalah merugikan pemerintah Belanda secara
moril materil dan menghilangkan nyawa banyak orang. Dihukum gantung dalam usia
32 tahun, sebagai contoh pahit bagi para pemberontak.”
“Dangar, dangar baritaan! Banua Banjar lamun kahada
lakas dipalas lawan banyu mata darah akan diinjak kumpini Belanda!”
“Apalagi yang mau dikatakan!” Belanda mendorong tubuh
Kak Idis hingga limbung.
“Mari berjihad, saudaraku! Laailaahailallah!!!”
Kak Idis berteriak keras.
Wajah orang-orang kian haru. Biru. Beberapa
diantaranya meneteskan airmata. Para wanita seolah tak kuat menanggung rasa
duka dan berlalu dari situ. Sementara deras airmataku berubah jadi isakan.
“Siap?”
Bagiku Kak Idis tampak makin gagah saat lehernya
dikalungi tali tambang yang kokoh itu. Ia begitu tenang. Pun saat tanpa sengaja
kami bertatapan.
Jantungku berpacu keras. Belanda Biadab!
“Allaaahu Akbarrrr! Demang Lehman…! Aku akan
mengikutimuuuu! Aku akan berjihaaaad!” teriakku tiba-tiba. “Aku Gaharaaaa!!!”
Sesaat orang-orang sibuk mencari arah suaraku, juga
Kompeni. Demang Lehman tenang dan terus berdzikir. Seulas senyum ketabahan
menghiasi wajah teduhnya. Belanda tak membiarkan. Kasar mereka menarik Demang
Lehman! Kasar mereka memasukkan lingkar tali tambang ke lehernya! Dan penuh
kebrutalan… mereka…membuat tubuh kurusnya terayun-ayun setelah mengejang
tertarik tali!
Allah, dia telah pergi! Pemuda gagah itu pergi
diiringi tunduk khidmat dan doa rakyat Banjar. Diantara derai tawa Kompeni
Belanda!
Selendang compang-campingku yang lusuh berdebu,
berkibar ditiup angin Martapura. Rahangku keras menatap langit kelabu.
Sayup-sayup kudengar senandung Laa ilaahailallah memenuhi bumi.
Menyebarkan wangi….
Aku akan mengenangmu, Demang
Lehman mujahid negeri! Akan kuteruskan perjuangan! Dan airmata biar terpatri
jadi janji!
(Helvy
Tiana Rosa, Depok, 1996)
Keterangan:
ikam
: kamu
ading
: adik
kada
: tidak
acil
: tante
lalawangan
: kepala distik, pamong praja
dangar
baritaan
: dengar pesanku
lamun kada lakas dipalas
: kalau tidak lekas disiram
banyu
: air
majas yg terdapat dalam cerpennya apa ya. klo bisa contohnya juga yg terdapat di cerpen nya
BalasHapus