Pages

Rabu, 03 Desember 2014

Lonely Post


Aku merasa semuanya berjalan tanpa nyawa. Ibarat seorang narapidana yang menolak menjalani sisa hidupnya di penjara. Terpuruk oleh ikatan janji yang tak pernah ditetapi. pesan yang tak pernah disampaikan.  Impian yang tertunda menjadi nyata. Langitku gelap. Hitam kah semua ini? Bukankah ini menjadi hukuman bagiku yang terlalu egois mengaharapkan sesuatu yang lebih indah dari kadarku. Medungku di langit kelabu berubah menjadi badai yang mengerikan. Menghancurkan semua pilar-pilar megah di istanaku. Jalan hidup macam apa yang sedang ku tangisi saat ini. Kulitku serasa dikuliti hidup-hidup. Disayat-sayat oleh bilah bambu di rimba gelap. Menyedihkan!

Namaku Yesi Aprilia. Aku anak  yang ceria dan mudah bergaul. Hampir semua anak sekampungku tau siapa aku. Lia si bocah periang. Akan ku awali kisahku dari sini. Saat ini usiaku 18 tahun. Aku memiliki seorang kakak dan satu orang tua,yakni Ibuku yang paling cantik. Ayahku sudah meninggal sejak 5 tahun yang lalu karena sakit paru-paru basah, pembengkakan jantung, asma, dan gagal ginjal. Itulah pertamakalinya Istanaku di terjang badai. Aku masih 13 tahun, tepat disaat  pembagian raport kenaikan kelas. Dan aku mempersembahkan hadiah yang buruk sebelum kepergiannya. Aku hanya mendapatkan posisi kedua di kelas. Aku tau ayah ibuku tak pernah menuntutku untuk selalu di posisi pertama. Tapi bagiku, posisi pertama adalah tempat paling terhormat untuk orangtuaku sejak aku di sekolah dasar. Ayah pergi menghadap Yang Kuasa, kakakku kembali belajar di kota  dan aku juga harus kembali belajar di pesantren meninggalkan ibuku sendiri. Kurasakan sekali beratnya beban hidup yang ditanggung ibu. Hingga di tahun kedua setelah kepergian ayah, kakakku mengajak ibu tinggal bersama di rumah kontrakan. Setelah lulus di Madrasah Tsanawiyah, aku juga ikut kakak sekolah dikota. Di sekolah yang pernah ia miliki dulu. Juga sekolah yang sama denganmu. Aku menjalani hari-hari yang sulit. Di kontrakan, kami hanya punya satu kamar, dua tikar, beberapa bantal dan alat rumah tangga lainnya. Rumah kontrakan yang kami tinggali sangat berbeda dengan rumah di kampung. Setiap malam, aku harus rela tidur di lantai dengan beralas tikar. Kadang aku menggelar beberapa kain agar terasa empuk. Sedang kakakku tidur di ruang tamu. Inilah kedua kalinya istanaku di terjang badai. Kondisi ekonomi kami merosot sejak kepergian ayah. Ibuku bekerja mencuci piring di kantin, kakakku kuliah sambil mengajar privat. Dan aku sekolah dengan mengendarai sepeda pink kesayanganku. Kamu tau berapa harga rasa malu yang harus ku jual? Semua jawaban ada di sepeda itu. Tiap pagi aku harus mengayuhnya sejauh 2 kilo untuk sampai kesekolah. Di jalan, aku harus sangat berhati-hati menyebrang. Terkadang, aku juga harus menepi sampai ketanah agar kendaran bermesin yang gaduh itu tidak menyerempetku. Dan tiba disekolah, aku disambut dengan ratusan motor-motor bermerk. Jarang sekali ada sepeda yang setia bertengger ditempat parkir kecuali sepeda pinkku. Setiap hari, harus kubuang rasa iriku dengan motor-motor mewah milik teman-temanku. Suatu saat aku pasti  bisa seperti kalian, pikirku saat itu. Aku ikuti pelajaran disekolah dengan baik. Meski tanpa uang saku, aku masih bisa berkomunikasi dengan baik dengan teman-temanku. Meskipun saat mereka mengajakku kekantin, aku akan menarik diriku sangat jauh dari mereka. “aku tidak lapar”. Padahal tidak ada uang saku dan bekal makan siang waktu itu. Aku akan tetap menahannya hingga jam 3 sore bahkan jam 5 sore sekalipun. Menyedihkan!. Ditahun pertamaku, aku mencoba mencari peruntungan menjual kue piscok di kelas. Itu berjalan selama beberapa bulan hingga kenaikan kelas. Ditahun kedua, aku menggantinya dengan berjualan kue martabak unyil yang hasilnya sangat lumayan. Dua bulan berjualan aku bisa mendapatkan keuntungan 400 ribu rupiah. Sejak saat itu, kodisi uang sakuku mulai membaik. Aku mulai berani mengunjungi tempat yang menjadi musuhku sesekali waktu. Tempat itu bernama “Kantin”. Namun, bisnis itu harus berhenti saat ada larangan dari sekolah. Disisi lain, aku juga ingin fokus di pelajaranku. Aku sangat mengagumi keajaiban tuhan. Sebab karena dialah saat itu aku bisa merasakan indahnya berada di sekolah. Tidak ada waktu yang membosankan. Semuanya ku warnai dengan kuas keceriaanku. Aku selalu tersenyum kepada semua orang. Dan menjalin persahabatan  dengan dua gadis yang sangat aku sayangi. Riska dan Oka.  Inilah untuk pertamakalinya aku menemukan dunia baruku yang benar-benar hidup. Di tahun itu juga aku kenal denganmu yang sebelumnya hanya orang asing bagiku. Kamu datang, tanpa pertanda. Sekali waktu aku menyesali perkenalan itu. Tapi di lain waktu aku hanya akan tersenyum kecil untu mengingatnya dengan baik di memoriku. Namamu Muhammad Ihsan Al Hafiz, aku telah mengetahuinya sejak pertama kali kamu masuk kekelasku di tahun pertama untuk meminta sumbangan. Teman disamping dan belakangku sangat menyukaimu saat itu. Bahkan mereka hampir histeris saat kamu  berbicara di depan kelasku. Tapi aku rasa tak ada yang istimewa sama sekali. Kamu tetap laki-laki biasa yang tidak perlu kukenal. Maafkan aku, Jangan marah padaku karena berbicara seperti ini. Aku tidak mudah menyukai yang tidak sependapat dengan akalku. Saat itu, aku hanya ingin dihargai, meski aku putri dari seorang pencuci piring. Aku berusaha keras untuk memberi harga tinggi pada diriku dengan caraku, hingga akhirnya aku mendapat posisi ke empat di ujian kenaikan kelas. Sejak saat itu, teman sekelasku menyadari keberadaanku. Dan aku tidak perlu menghindar seribu mil lagi dari mereka. Itulah caraku menghargai perjuangan ibu. Meski tidak seperti di sekolah dasar dan menengah pertama. Tapi aku berharap ayahku bisa tersenyum melihatku.

Masih sangat jelas saat pertamakali kamu mengirim pesan untukku. Sekali lagi, tak ada yang istimewa buatku. Tapi semakin lama, aku merasa kita semakin akrab. Banyak hal yang ku suka juga kau sukai. Aku merasa beberapa bagian istanaku  telah  di renovasi lagi. Dan lagi, Masih ku ingat panggilan Mr. Fisika dan Putri Ilalang itu. Kau tau, baru pertama kalinya aku memberi gelar pada seseorang. Dan kamulah orang pertama itu. Buatku saat itu, kamu adalah orang terbaik yang pernah ku kenal. Kamu berbeda dari yang lain. Kamu pandai memahamiku, kamu seperti keluargaku. Namun badai itu kembali menerjang istanaku yang telah direnovasi sebagian. Kamu menghilang sejak masuk universitas. Aku tidak menemukanmu di segala waktu. Ada beton-beton tinggi menghalangi kamu dan aku. Bahkan kamu semakin menjauh. Merangkak, berjalan, berlari, dan melesat hilang dan tak pernah kembali. Kamu kirimkan pesan perpisahan sesukamu. Sejak itu baru ku tau kamu adalah seorang pengecut. Kamu datang tanpa pernah di undang, dan pergi tanpa ada alasan. Kamu meninggalkan ketidakjelasan. Kamu benar-benar pergi.

0 komentar:

Posting Komentar